Terpaksa Romantis itu Romantis

Telepon di meja berdering. Jarang sekali telepon berwarna putih ini berdering kalau bukan ajakan makan siang dari kawan yang tempat duduknya selemparan batu. Dengan bahasa sok akrab, aku menjawab telepon itu. Ternyata dari satpam bawah. Katanya, “mbak Dea ada kiriman nih dari pak Jepe.” Sontak aku tertawa terbahak-bahak, teringat sesuatu di awal minggu ini. Si mas satpam masih kebingungan mengapa aku malah tertawa, “kok malah ketawa sih mbak?”. “Nggak apa-apa,” jawabku masih sambil cekikan.

Untuk memastikan apa benar kiriman itu adalah suatu hal yang selama ini dia hindari, aku menanyakannya ke mas budi, si satpam yang masih berbicara di ujung telepon. “Bunga, mbak.” Aku pun kembali tertawa dan tanganku dingin, jantungku berdegup kencang. Mengapa harus di saat jam kerja. “Gede nggak,” tanyaku lagi. Tidak katanya. Aku hanya khawatir dikirimi karangan bunga yang mengundang perhatian lantai 2, begitu aku menyebut rekan-rekan redaksi Sinar Harapan.

Sampai di bawah, aku sedikit lega. Karena bunganya ditaro di kantong plastik, hahaha. Meski ini agak tak sopan tapi untuk beberapa alasan, aku menyukainya. Bunga mawar merah pink dengan beberapa coklat di bagian tengah dengan kartu ucapan yang ah sudahlah… I know he does. Deadline jumat siang ini ditutup dengan sensasi yang tak pernah kubayangkan apalagi tak pernah dia menghiraukan percakapan tentang bunga.

“Cowok hobi ngasih bunga itu, cowok gombal tahu,” katanya. But I don’t care, I know he doesn’t and he isn’t. Boleh nangis sampai di sini? Ahahahahahakk.

Thank you, for loving me. Nanti sore kita nyanyikan bersama ya abang mama bayangku.

image

Jakarta, 11 September 2015
10 jam menjelang konser Bon Jovi

Tabik.


2 thoughts on “Terpaksa Romantis itu Romantis

Leave a comment